HAKEKAT DARI
KONSELING PERSIAPAN PERNIKAHAN
Saat yang tepat untuk dapat memulai menangani masalah-masalah dalam pernikahan
dan keluarga adalah sebelum masalah itu sendiri timbul. Secara
ideal, persiapan pernikahan dimulai ketika seorang individu masih berada pada masa kanak-kanak. Jikalau
orangtuanya mempunyai hubungan yang baik sebagai suami-istri, tentu
anak-anak tersebut akan belajar membangun pernikahan yang baik di
kemudian hari.
Apapun yang mereka pelajari dari rumah tangga atau keluarga akan
mempengaruhi sikap hidup di kemudian hari. Banyak pasangan menghadapi
hari pernikahan mereka dengan perasaan campur aduk antara keinginan yang
meluap-luap dan keragu-raguan. Dengan menolong
keluarga untuk dapat menjadi model bagi anak-anak mereka, pemimpin
gereja memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk suksesnya
pernikahan-pernikahan yang akan datang.
TUJUAN
DARI KONSELING PERSIAPAN PERNIKAHAN
Konseling persiapan pernikahan bertujuan untuk
mempersiapkan dan menolong individu, pasangan- pasangan, bahkan
kadang-kadang anggota keluarga yang lain
untuk menciptakan suasana pernikahan yang bahagia. Seperti halnya dengan
pencegahan penyakit yang dilakukan untuk
mencegah timbulnya penyakit dan menjaga kesehatan tubuh, demikian juga dengan bimbingan persiapan
pernikahan. Bimbingan persiapan pernikahan diharapkan dapat mencegah timbulnya
kesulitan dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga, disamping tentunya untuk
menolong membangun hubungan pernikahan yang sehat dan memuaskan. Menurut Garry R. Collins bahwa dalam
konseling ini, paling tidak ada lima goal (tujuan) yang harus diperhatikan.
1. Keputusan untuk siap menikah
Walaupun tidak ada rumusan yang tepat kapan seseorang
siap untuk menikah tetapi ada beberapa
petunjuk umum yang dapat diperhatikan.
a. Alasan untuk menikah.
Sepasang
pria dan wanita yang sudah mengikatkan diri satu dengan yang lain dapat memberikan beberapa alasan,
mengapa mereka terdorong untuk segera menikah. Alasan-alasan ini antara
lain,pimpinan Tuhan, kebutuhan seksual dan kebutuhan untuk bersatu dalam ikatan
kasih. Kadang-kadang ada juga alasan-alasan yang tidak sehat untuk memasuki
suatu pernikahan, misalnya tekanan sosial, membalas dendam pada orangtua atau
bekas kekasih, mencegah pandangan umum bahwa ia "tidak laku", lari
dari keluarga yang tidak bahagia,
kesepian, dan sebagainya. Menikah dengan seseorang karena terpaksa atau
perasaan bersalah, tidak akan memberi
jaminan untuk kestabilan pernikahan, demikian juga hubungan seksual dan
kehamilan tidak boleh menjadi alasan untuk menikah.
b. Latar belakang yang hampir sama.
Pernikahan biasanya lebih sukses bila pasangan itu mempunyai cita-cita dan
standar (nilai) yang hampir sama, latar belakang dan tingkat kehidupan
sosial-ekonomi, adat istiadat, pendidikan,
dan iman yang sama. Tentu saja ada beberapa perkecualian dimana ada
pasangan-pasangan suami-istri yang dapat mencapai sukses dalam pernikahan tanpa persamaan ini. Namun
harus diakui, bahwa untuk itu, mereka harus bergumul dan bekerja dengan lebih
keras untuk membangun hubungan
pernikahan yang baik.
c. Usia.
Setiap
kebudayaan mempunyai perbedaan dalam menentukan usia yang ideal untuk menikah dan dalam beberapa
masyarakat sepasang suami- istri yang masih sangat muda dapat membangun
pernikahan yang baik. Seringkali, penyesuaian diri dalam pernikahan lebih baik
bila pasangan lebih dewasa dalam usia. Meskipun harus diingat, bahwa kedewasaan
tidak selalu otomatis sesuai dengan pertambahan usia seseorang. Kedewasaan
memang menolong seseorang untuk dapat
memutuskan dan mempertahankan hubungan yang baik dan mengatasi
persoalan-persoalan hidup dengan lebih efektif.
Perbedaan umur juga sangat
penting. Bila suami jauh lebih tua atau
muda dari istrinya, banyak sekali perbedaan dalam cita-cita dan kebutuhan
fisik, kesulitan mencari teman, dan kecenderungan untuk suami-istri yang lebih
tua untuk bertindak sebagai orangtua terhadap istri/suaminya.
d. Sikap terhadap pernikahan.
Kadang-kadang ada orang-orang
yang jijik terhadap hubungan seksual,
ragu-ragu terhadap pernikahan itu sendiri, berbeda pendapat mengenai anak-anak yang akan
dilahirkan, punya perbedaan pandangan dalam peran/kedudukan dalam rumah tangga,
bahkan perbedaan rencana untuk hari depan, dan sebagainya. Perbedaan- perbedaan
sikap terhadap pernikahan yang serius harus terlebih dahulu dibereskan sebelum
pernikahan. Untuk itu, kemungkinan besar kita memerlukan bantuan konselor.
e. Pengaruh dari luar.
Seringkali
pengaruh dari luar dapat menambah tekanan dalam pernikahan yang masih muda,
termasuk rencana untuk melanjutkan studi, banyak hutang, keuangan yang
pas-pasan, pertentangan dengan orangtua, kedudukan dalam pekerjaan yang
menyebabkan ia harus berpisah dalam jangka waktu yang lama, dan
sebagainya. Banyak pasangan memutuskan
untuk tetap menikah walaupun sudah menimbang kesulitan-kesulitan ini, tetapi
ada juga yang lebih suka menunggu.
f. Kematangan spiritual.
Tentu
seseorang tidak siap untuk menikah secara Kristen bila ia bukan seorang percaya, tidak seiman, atau
belum betul-betul menerima Tuhan Yesus
sebagai Juruselamat. Ketika kita Percaya, kita menyerahkan diri kepada Kristus,
menjadi anak-anak-Nya dan mencari kehendak-Nya, sehingga bila kita menikah
dengan orang yang tidak seiman, akan timbul banyak kesulitan dalam pernikahan karena perbedaan keyakinan, dan pelayanan kita
sebagai orang Kristen pun menjadi tidak efektif. Karena itu sangat penting bagi
orang Kristen untuk mendapatkan saudara seiman sebagai pasangan hidupnya supaya
keduanya dapat melayani Tuhan dengan baik.
Hal ini tentu saja tidak menjadi jaminan suksesnya suatu
pernikahan secara otomatis (orang Kristen atau bukan tidak pernah lepas dari
persoalan-persoalan kehidupan), tetapi yang jelas kesulitan pasti timbul bila
mempunyai pasangan yang "tidak
seimbang" atau seorang percaya yang menanggung beban dengan
orang yang buta rohaninya (2Korintus
6:14).
2. Tahu dan siap menghadapi tekanan-tekanan dalam
kehidupan pernikahan.
Dua orang dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda, tentunya menghadapi banyak hal yang harus
disesuaikan. Jikalau tekanan-tekanan
dalam kehidupan pernikahan sudah dipersiapkan untuk sama-sama dihadapi, tentu
penyesuaian diri akan menjadi lebih mudah.
Hal-hal yang menimbulkan tekanan hidup pernikahan tidak selalu sama antara pasangan yang satu dengan yang lain,
tergantung kepada keunikan pasangan itu
dan masyarakat dimana mereka hidup. Dalam suatu penyelidikan terhadap beberapa
ratus pasangan yang sudah menikah ternyata, bahwa penyesuaian dalam hubungan
seksual, pengaturan keuangan, kebutuhan sosial dan rekreasi, persoalan dengan
mertua dan ipar-ipar, perbedaan dalam kepercayaan, konflik dalam memilih
sahabat merupakan hal-hal utama dalam penyesuaian pernikahan. Tentu saja daftar ini dapat
menjadi lebih panjang untukmereka yang mempunyai latar belakang yang berbeda.
Tentulah akan sangat menolong, apabila konselor Kristen dapat memikirkan
terlebih dahulu "apa yang menjadi sebab-sebab utama tekanan-tekanan hidup
pernikahan dalam masyarakat kita". Tanyakan pada pemimpin-pemimpin gereja
dan mintalah pendapat mereka. Kemudian, rencanakan untuk mengetengahkan
persoalan ini kepada calon pasangan atau mempelai sebelum mereka menikah. Bila
seseorang diperingatkan dengan lemah lembut sebelum persoalan itu sendiri muncul, dan bila konselor dapat memberikan
bimbingan yang realistis mengenai cara-cara menanggulanginya, tentu saja
penyesuaian dalam pernikahan akan
menjadi lebih mudah. Kebanyakan masyarakat di abad modern ini membuat rencana
untuk berbulan madu setelah menikah. Hal
ini memang penting tetapi eringkali juga merupakan persoalan tersendiri. Bulan
madu sebenarnya masih merupakan masa transisi dari kehidupan bujang ke kehidupan bersama. Memang ini merupakan
kesempatan bagi pasangan yang baru menikah untuk menyendiri dan memulai
menyesuaikan diri dengan status mereka yang baru, baik secara fisik maupun
psikis.
Walaupun seringkali masa bulan madu sudah dipersiapkan dengan baik dan sangat
dinantikan, namun biasanya diselingi dengan kekakuan- kekakuan, dan banyak
hambatan lain yang membutuhkan waktu untuk
mengatasinya, misalnya dalam hubungan seksual dimana masing-masing merasa canggung, malu, dan bisa menjadi
sumber frustasi.
Konselor harus selalu ingat untuk tetap memegang kebenaran firman Tuhan
mengenai kehidupan seksual yang suci sebelum pernikahan. Walaupun hubungan
seksual sebelum pernikahan sudah menjadi biasa, tetapi bagi pasangan Kristen
tetap harus dijaga sampai memasuki kehidupan pernikahan yang sesungguhnya.
Memang pengalaman seksual sebelum pernikahan dapat mengurangi kecanggungan
dalam hubungan seksual waktu berbulan madu, tetapi perasaan bersalah, dan
dorongan untuk menunjukkan
"kemampuan seksual di atas tempat tidur" dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan
yang terus-menerus dan kegelisahan yang
mendalam selama bulan madu. Pada masa kini, semakin jarang ada pasangan-pasangan
yang sama sekali bebas dari ketakutan dan kegelisahan dalam malam pernikahan mereka. Jadi,
sangat penting untuk diingat, bahwa hal-hal yang dihadapi oleh kedua belah
pihak untuk bulan madu mereka harus disinggung pada percakapan sebelum
pernikahan. Seringkali diskusi semacam ini terjadi dalam percakapan lingkungan
keluarga, tetapi tidak selalu.
Bila Anda sebagai pemimpin gereja merasa sungkan untuk membicarakan hal-hal
semacam ini, atau apabila peraturan gereja melarang pendeta untuk membimbing
dalam hal ini, ada baiknya untuk minta anggota jemaat atau pasangan yang lain
yang dapat menjelaskan mengenai seks dan bulan madu dengan baik. Seringkali
dapat juga meminta nasihat dari dokter untuk menjelaskan hal-hal yang
berhubungan dengan persetubuhan pada waktu pemeriksaan fisik sebelum menikah.
Tentu
kita tidak boleh melebih-lebihkan fakta, seolah-olah semua persoalan sebelum
dan sesudah menikah pasti dapat diatasi jikalau pasangan belajar berkomunikasi.
Dibutuhkan usaha dan ketekunan bagi kedua belah pihak, suami atau istri untuk
dapat saling mendengarkan dengan baik, mengerti dan mengutarakan isi hatinya
dengan jujur dan penuh kasih belajar untuk saling menghargai. Tentunya jika hal
ini dilakukan, hubungan dalam pernikahan akan menjadi lancar dan usahanya tidak
sia-sia. Mengutarakan secara jujur tentang sikap hidup, perasaan, dan
pergumulan-pergumulan pribadi, adalah sama pentingnya dengan mengutarakan cinta
dan pengharapan. Tetapi tentu saja pengaturan semacam itu tidak dimulai pada
masa bulan madu, oleh karena seharusnya telah dimulai jauh-jauh hari sebelum
pernikahan, dimana seorang premarital konselor mendorong dan membimbing ke arah
pengembangan kemampuan berkomunikasi.
3. Bimbingan untuk mengenal diri sendiri.
Dalam
pernikahan, kemampuan untuk dapat melihat dengan jujur keadaan diri kita
sendiri adalah modal yang paling utama. Tuhan Yesus dengan jelas memperingatkan
murid-murid-Nya, supaya mereka dapat melihat balok di mata mereka sendiri
sebelum mengambil selumbar di mata orang
lain (Matius 7:3-5).
Namun
sayang, banyak di antara kita yang justru menghindarkan diri dari pengenalan
terhadap diri sendiri. Memang tidak ada orang yang senang melihat kesalahannya
sendiri, lebih mudahlah baginya untuk mendapatkan kesalahan dalam diri orang
lain. Tidak heran bila terjadi perbedaan pendapat baik pada masa pertunangan
maupun masa- masa setelah menikah, kita cenderung melupakan persoalan yang ada
dan menganggap diri sendiri benar dengan menyalahkan orang lain, tanpa menyadari, bahwa sumber dari segala
persoalan itu mungkin adalah dari
dirinya sendiri.
Jadi,
sangatlah penting pada masa-masa pertunangan untuk melakukan usaha pengenalan
diri sendiri. Memang tidak semua kebudayaan mengijinkan hal-hal ini dibicarakan
sebelum pernikahan, tetapi sesungguhnya akan sangat menolong apabila
masing-masing pasangan menyadari akan kelemahan dan kelebihannya sendiri dan
secara terbuka mengutamakan prinsip-prinsip dan pengharapan-pengharapannya
sambil melihat reaksi atau tanggapan dari pasangannya. Penilaian terhadap diri sendiri yang seperti ini dapat menolong
pasangan yang akan menikah untuk berkomunikasi dengan lebih efektif, bahkan
dapat menolong suami/istri bila problema-problema seperti ini muncul di masa-masa mendatang.
4. Pertimbangan padangan Alkitab mengenai pernikahan.
Setelah Tuhan menciptakan dunia dengan isinya, Ia melihat bahwa "tidak baik manusia itu seorang diri
saja" dan Ia memulai lembaga
pernikahan sambil menyatakan, bahwa seorang laki-laki harus
"bersatu dengan istrinya dan menjadi satu daging" (Kejadian 2:18, 24)
Beberapa bagian dari Alkitab dapat menolong kita mempelajari konsep- konsep pernikahan yang dikehendaki Allah.
Bila pasangan Kristen sudah memutuskan untuk memulai hidup sebagai suami/istri,
mereka seharusnya mengerti apakah tujuan pernikahan yang dikehendaki Allah dan
rencana Allah atas diri mereka berdua.
Dengan
pertolongan konselor Kristen, setiap pasangan dapat membicarakan dengan teliti tentang rencana
surgawi atas pernikahan Kristen, terutama yang tercantum dalam Efesus 5:21-6:4,
Kolose 2:16-21, 1Korintus 7, dan 1Petrus 3:1-7. Harus diperhatikan, bahwa hubungan suami istri diibaratkan dengan
hubungan antara Kristus dengan gereja-Nya. Pengertian mengenai hal inilah yang
akan memudahkan banyak orang Kristen untuk dapat menerima dan bersyukur atas perintah Tuhan untuk tunduk kepada
suami. Dalam banyak negara dewasa ini, pandangan Kristen seperti ini tidak
populer atau bahkan tidak dikenal dan
banyak gereja yang menghapuskan kata "taat" dalam peneguhan pernikahannya. Seorang suami
sebagai kepala keluarga tidaklah terpanggil untuk semau-maunya menindas
istrinya, karena justru ajaran Alkitab untuk kepala berarti pengorbanan seperti
yang dijelaskan dalam Efesus 5. Hasilnya, istri akan dengan patuh dan sukacita
menundukkan diri kepada suami yang memperhatikan dan mengasihi serta memikirkan
kebahagiaannya.
5. Merencanakan pernikahan.
Setiap
kebudayaan mempunyai adat istiadat dan peraturan tersendiri untuk upacara
pernikahan. Kadang-kadang konselor Kristen diminta untuk memberikan bimbingan
dalam hal ini, tetapi kebanyakan diserahkan kepada pihak keluarga.
Konselor Kristen dapat membantu mempelai untuk
mengerti apa artinya upacara pernikahan. Bagi banyak pasangan upacara
pernikahan tidak dibicarakan sampai hari-hari terakhir, sehingga biasanya
mereka sudah terlalu lelah dan tegang untuk dapat mengingat dan mengerti semua
yang telah dikatakan. Karena itu, sangatlah menolong bila hal ini dibicarakan jauh-jauh hari sebelumnya,
sehingga pasangan itu mempunyai waktu untuk mengerti aspek-aspek spiritual dari
upacara pernikahan tersebut dan juga menyadari pentingnya saksi-saksi atas janji yang mereka buat untuk dipersatukan di
dalam Tuhan.
Sumber
Collins
Garry R, 1998, Konseling Kristen yang
Efektif, Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, hal. 102-110